Bolehkah Menjual Harta Wakaf?
Wakaf adalah harta yang dikeluarkan seorang Muslim dari kepemilikannya karena Allah Ta’ala. Semisal seseorang menyerahkan tanahnya untuk dibangun masjid, atau menyerahkan gedung miliknya untuk digunakan sebagai sekolah Islam, dan lainnya.
Bolehkah harta yang sudah diwakafkan kemudian dijual?
Dalam Mausu’ah Fiqhil Islami dijelaskan:
الوقف مال أخرجه الإنسان عن ملكيته لله عز وجل، فلا يجوز التصرف فيه ببيع أو هبة ونحوهما؛ لأن البيع يفتقر إلى ملكية، والوقف لا مالك له
“Wakaf adalah harta yang dikeluarkan seorang Muslim dari kepemilikannya karena Allah Azza wa Jalla. Maka tidak boleh melakukan transaksi terhadapnya baik berupa jual-beli, hibah, ataupun semisalnya. Karena jual-beli itu membutuhkan kejelasan kepemilikan, sedangkan harta wakaf itu tidak memiliki pemilik”.
Syaikh Muhammad Ali Farkus menjelaskan:
فالأصلُ أنَّ الوقف الصحيحَ اللازمَ الذي يحصل به مقصود الوقف من الانتفاع لا يجوز بيعه ويمتنع شراؤه، ولا يُشرع التصرُّف فيه بأيِّ شيءٍ يزيل وقفيتَه، لِمَا صحَّ من حديث ابن عمر رضي الله عنهما قال: «أَصَابَ عمرُ أرضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ: يا رسولَ اللهِ، إنِّي أصَبْتُ أرضًا بخَيبَرَ لَمْ أُصِبْ مالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقتَ بِهَا. قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ: أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا، وَلاَ يُبْتَاعُ وَلاَ يُورَثُ وَلاَ يُوهَبُ. قَالَ: فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي الفُقَرَاءِ وَفِي القُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ، لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوفِ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ». متفق عليه واللفظ لمسلم.
وفي رواية البخاري: «تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ: لاَ يُبَاعُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ، فتَصَدَّقَ بِهِ».
“Hukum asalnya wakaf shahih yang sifatnya lazim (tetap) yang pemanfaatannya sudah sesuai dengan wakif, tidak boleh dijual dan terlarang untuk dibeli (oleh pembeli). Dan tidak boleh ditransaksikan dengan segala jenis transaksi yang bisa menghilangkan hakekat wakafnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma beliau berkata: Umar bin Khathab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian beliau menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam untuk menanyakan hal ini. Umar berkata: “Wahai Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”. Rasulullah bersabda: “Bila kau mau, kau tahan tanah tersebut dan engkau sedekahkan“. Kemudian Umar menyedekahkannya, ia tidak menjualnya, tidak mewarisinya dan tidak juga menghibahkannya. Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, para budak, orang yang berjiha sabilillah, orang dalam perjalanan (ibnu sabil) dan kepada tamu. Dan tidak dilarang bagi yang diberi kewenangan menguasai tanah wakaf itu untuk mengambil keuntungan darinya dengan cara yang ma’ruf, atau memberi makan temannya, dengan tanpa maksud untuk menumpuk harta darinya” (Muttafaq ‘Alaih, dan ini lafadz Muslim). Dalam riwayat Al-Bukhari: “Nabi bersabda: ‘Sedekahkan pokoknya, jangan dijual namun boleh diinfakkan hasilnya‘. Maka Umar pun menyedekahkannya”.
Bagaimana jika harta wakaf sudah tidak bisa dimanfaatkan?
Terkadang pada kondisi tertentu, harta yang sudah diwakafkan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Misalnya masjid yang terkena gempa bumi, atau bangunan sekolah yang sudah berhenti operasionalnya, atau masjid yang ditinggalkan orang karena terlalu bising atau tempatnya tidak strategis, dan keadaan semisal itu. Pertanyaannya, bolehkah dijual?
Dalam Mausu’ah Fiqhil Islami dijelaskan:
والقاضي له ولاية مبنية على الولاية العامة للحاكم ببيع ما لا مالك له. فإذا خرب الوقف، وتعطلت منافعه جاز بيعه واستبداله بمثله أو أفضل منه، كدار انهدمت، أو أرض خربت، أو مسجد انصرف أهل القرية عنه، أو ضاق بأهله ولم يمكن توسيعه ونحو ذلك من الأسباب التي تُنقِص أو تَمنع الانتفاع به
“Seorang qadhi memiliki kewenangan dalam wilayah hukumnya untuk menjual-belikan harta yang tidak memiliki pemilik. Jika harta wakaf rusak, dan terhenti manfaatnya, maka boleh menjualnya. Kemudian digantikan dengan yang semisalnya atau yang lebih baik. Semisal bangunan yang hancur, atau tanah yang rusak, atau masjid yang ditinggalkan penduduk, masjid yang terlalu sempit dan tidak mungkin diperluas, dan semisal itu, yang memiliki faktor-faktor yang bisa mengurangi atau menghilangkan manfaat dari wakaf”
Syaikh Muhammad Ali Farkuz juga menjelaskan:
فإن تعطَّلت منافع الوقف بالكلية ولَمْ يمكن الانتفاع به ولا تعميره وإصلاحه كدارٍ انهدمت، أو مَحَلِّ بيع قَلَّ العائدُ منه، أو أرض خربت وعادت مواتًا ولم يمكن عمارتها، أو مسجدٍ انتقل أهلُ القرية عنه أو ضاق بأهله ولم يمكن توسيعه، فيجوز ‑عند تعطل منافعه‑ أن يُباع الوقف للحاجة ويُشْترى ما يقوم مقامه، وهو مذهب أحمد ورواية عن مالك واختاره ابن تيمية وابن القيم ‑رحمهم الله‑ .
“Jika manfaat wakaf terhenti secara keseluruhan, dan tidak mungkin bisa dimanfaatkan lagi, dan tidak mungkin bisa diurus atua diperbaiki lagi, semisal bangunan yang hancur, atau tempat berjualan yang sedikit dikunjungi orang, atau tanah yang rusak atau hampir mati dan tidak bisa diurus lagi, atau masjid yang ditinggalkan penduduknya, atau masjid yang sempit dan tidak bisa diperluas lagi, maka boleh -ketika terhenti manfaatnya- untuk menjualnya karena ada kebutuhan. Dan hasil penjualannya digunakan untuk membeli yang bisa menggantikannya. Ini adalah madzhab imam Ahmad dan salah satu pendapat dari imam Malik, dan juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. ”
Beliau juga menjelaskan:
ويدلّ على ذلك ما روي أنّ عمر رضي الله عنه كتب إلى سعد رضي الله عنه لما بلغه أنه قد نُقِبَ بيت المال الذي بالكوفة: «أن انقل المسجد الذي بالتمَّارين، واجعل بيت المال ممَّا يلي القبلة؛ فإنه لا يزال في المسجد من يصلِّي»، وكان هذا بمشهد من الصحابة رضي الله عنهم ولم يظهر خلافه فكان إجماعًا.
“Dalil atas hal tersebut adalah riwayat dari Umar radhiallahu’anhu bahwa beliau menulis surat kepada Sa’ad radhiallahu’anhu ketika Sa’ad mengepalai Baitul Mal di Kufah. Isi suratnya: ‘pindahkanlah masjid yang ada di Tammarin. Dan buatkan di situ baitul Mal yang menghadap ke kiblat. Karena masjid tersebut sudah tidak ada yang shalat di sana‘. Dan hal ini disaksikan para sahabat radhiallahu’anhum dan tidak diketahui ada yang menyelisihi beliau, sehingga menjadi sebuah ijma”.
Siapa yang berhak memutuskan dan mengurus penjualan wakaf?
Dalam keadaan yang dibolehkan untuk menjual wakaf, perlu diperhatikan bahwa hendaknya tidak sembarangan orang memutuskan untuk menjual wakaf atau sembarang orang yang mengurus penjualannya. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:
ويكون ذلك بواسطة المحكمة، إذا كان في البلاد محكمة، وإلا يكن ذلك بواسطة أهل الخير، كالمركز الإسلامي، أو العالم الذي يوثق به في البلد، أو في الأقلية الإسلامية، حتى يتعاون مع ناظر الوقف في ذلك الأمر، المقصود، أن ناظر الوقف يتعاون مع أهل الخير في ذلك حتى يبرئ ذمته، وحتى يسلم هذا الوقف من التعطيل، أما إذا كانت البلد فيها محكمة، فإن الناظر يستشير المحكمة، ويسير على ضوء توجيهات المحكمة في البيع، وفي شراء البديل.
“keputusan dan pengurusan penjualan wakaf dilakukan melalui mahkamah agama (baca: KUA), jika memang di negeri tersebut ada mahkamah. Atau melalui orang shalih atau ulama yang terpercaya di negerinya. Atau melalui lembaga-lembaga Islam, sehingga mereka bisa saling bahu-membahu bersama pengurus wakaf dalam hal ini. Maksudnya, mereka bekerjasama dengan pengurus wakaf mengurus penjualan wakaf hingga lepas bebannya, dan hingga wakaf bisa dimanfaatkan kembali. Adapun jika di negeri tersebut ada mahkamah, maka pengurus wakaf meminta bantuan mahkamah dan mengikuti bimbingan mahkaman dalam penjualannya serta dalam pembelian penggantinya”.
Syaikh Muhammad Ali Farkus juga menjelaskan:
لا يجوز للناظر على الوقف الاستقلال بمفرده بتحقيق مناط تعطّل منافع الوقف، خشية أن يكون تحقيقه للمناط قاصرًا، لذلك يجب رفع الأمر إلى جهة مسؤولةٍ -فعلاً- أو إلى قاضي البلد ليشكل من أهل الخبرة جماعة لدراسة وضع الوقف، ثمَّ يباع ويصرف ثمنه في غيره ممَّا يكون وقفًا أولويًّا من جنسه، وذلك إذا كان تقرير الخبرة يقضي بتعطل منافعه.
“tidak boleh seorang pengurus wakaf secara bebas dengan seorang diri memutuskan bahwa wakaf sudah tidak bisa bermanfaat. Karena dikhawatirkan penilaian si pengurus wakaf ini adalah penilaian yang prematur. Oleh karena itu wajib untuk menyerahkan urusannya kepada pihak yang berwenang, atau kepada qadhi yang ada di negerinya (baca: KUA), agar mereka menyerahkan kepada orang yang berkompeten secara bersama-sama menelaah kondisi wakaf. Kemudian bersama mereka juga mentransaksikan hasil penjualannya kepada hal yang lain yang bisa menjadi pengganti dan sesuai dengan jenis wakafnya. Itu pun jika orang yang berkompeten memutuskan bahwa wakafnya sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi”.
Demikian, semoga bermanfaat.
***
Referensi:
- Mausu’ah Fiqhil Islami
- Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuz: http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1004
- Fatwa Lajnah Daimah: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=5580
___
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
🔍 Sahabat Yang Baik Dalam Islam, Bulan Haram Adalah, Tata Cara Dzikir Yang Benar, Ayat Alquran Tentang Rezeki, Shahih Al Bukhari
Artikel asli: https://muslim.or.id/26106-bolehkah-menjual-harta-wakaf.html